Senin, 16 Juli 2012

Coco Vandeweghe, An American New Hope?

Amerika Serikat memang masih mempunyai Serena Williams yang baru saja mencetak prestasi spektakuler dengan berturut-turut menjuarai Wimbledon 2012 dan Bank of The West Classic di usianya yang ke 30. Tapi yang akan kita bicarakan, bukanlah Serena, tapi lawan yang dikalahkannya di babak final Stanford, Coco Vandeweghe.

Turnamen di Stanford menjadi berkesan untuk dibicarakan, karena inilah kali pertama babak final dihuni oleh dua petenis Amerika Serikat dalam tiga tahun terakhir. WTA Championship 2009 adalah kali terakhir duel sesama petenis US, dimana Serena Williams berhasil menjadi juara setelah menundukkan saudarinya Venus Williams. Setelah tiga tahun, Serena kembali melawan kompatriotnya, dan kali ini Vandeweghe lah yang menjadi penantangnya.

Meski kalah di final, perjalanan Vandeweghe menantang Serena sangatlah cemerlang. Dibabak pertama ia berhasil mengalahkan Melinda Czink dengan skor meyakinkan 4-6, 1-6. Di babak kedua, giliran Jelena Jankovic yang dilibasnya juga denga straight set 4-6, 2-6. Selanjutnya di babak perempat final adik petenis no2  dunia, Urszula Radwanska yang menjadi korbannya dengan skor 4-6, 4-6. Dan Yanina Wickmayer adalah batu sandungan terakhir yang disingkirkannya dalam pertarungan sengit tiga set 2-6, 6-3, 2-6. Namun sayang, di babak final Serena Williams masih terlalu perkasa bagi gadis usia 21 tahun ini. Vandeweghe menyerah dalam dua set 7-5, 6-3.

Coco Vandeweghe terlahir 6 Desember 1991 di New York. Stanford adalah babak final turnamen WTA pertamanya. Sebelum ini, karir Vandeweghe tenggelam diantara petenis Amerika lainnya diluar Williams bersaudara seperti  Vania King atau Melanie Oudin yang sempat memberikan harapan bagi Amerika saat lolos ke babak perempat final US Open 2009. 

Accura Clasic 2007 adalah debutnya dalam turnamen WTA, dan kandas di babak pertama. Ditahun-tahun berikutnya, prestasi terbaik Vandeweghe di turnamen profesional paling banter hanya sampai babak kedua. Di US Open 2011, ia berhasil maju ke babak kedua. Dan ranking terbaik sebelumnya adalah 120. Di Stanfordlah, Vandeweghe berhasil mencicipi manisnya babak final untuk pertama kalinya.

Dengan berhasil maju ke final Stanford, peringkat Vandeweghe melonjak ke 69, yang otomatis memberinya tiket ke babak utama US Open 2012, dimana ia sangat berharap untuk tetap dapat mempertahankan penampilan cemerlangnya ini. 

Saya rasa bukan hanya Vandeweghe seorang yang berharap tampil maksimal di gelaran grandslam penutup ini. Tapi seluruh warga Amerika pun berharap, agar segera ada regenerasi pemain untuk melapis Williams bersaudara yang sudah sampai diusia senja karirnya. Bagaimanapun juga Amerika mempunyai sejarah gemilang dalam dunia tenis. Sejarah mencatat, ada banyak pemain US yang menghuni peringkat sepuluh besar dalam satu masa. Sebutlah eranya Monica Seles, Mary Joe Fernandez, Lindsay Davenport, Jennifer Capriati, dan Williams Bersaudara, nama-nama besar yang berhasil menguasai peta pertenisan dunia, sekaligus manifesto suksesnya regenerasi pertenisan Amerika.

Mudah-mudahan tampilnya pemain diluar Williams bersaudara di babak final turnamen WTA, Coco Vandeweghe akan menjadi pemicu munculnya pemain-pemain besar lainnya dari Amerika Serikat, seperti halnya pernah terjadi  di Rusia dengan barisan Russian' Girls nya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar